Social Icons

Halaman

22 Januari 2009

Subyek Pendidikan

SUBYEK PENDIDIKAN
(Kajian Tafsir Tarbawy Menurut Surat Ali Imran: 18; An Nahl: 43, 44, 78; Al Kahfi: 66; Fathir: 28; dan An Najm: 5-6)
A. Subyek (Pelaku) Pendidikan dan Perannya Masing-masing.
Secara filosofis, pendidikan merupakan sebuah sistem yang memiliki aspek-aspek yang saling berhubungan. Menurut A.D. Marimba (1989: 19-65), pendidikan adalah proses membimbing atau memimpin yang dilakukan secara sadar oleh pendidik untuk mengembangkan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dalam proses membimbing atau memimpin tersirat dua pihak yang saling berhubungan, yaitu pendidik dan peserta didik. Selain itu, agar usaha dalam proses tersebut dapat mencapai tujuan pendidikan, maka diperlukan landasan/dasar yang jelas serta alat dan badan/lembaga penyelenggara pendidikan. Dengan demikian, pendidikan terdiri dari beberapa aspek, yaitu: peserta didik, pendidik, dasar, tujuan, alat, dan badan/lembaga pendidikan.
Berdasarkan keterangan tersebut, pendidik merupakan salah satu bagian integral dari sistem pendidikan. Pendidik atau subyek pendidikan adalah orang yang terlibat secara langsung dan kuntinyu dalam proses pendidikan. Dalam dunia pendidikan, yang lazim disebut pendidik adalah orang tua, guru, dan para pemimpin masyarakat atau orang-orang yang telah dewasa. Orang tua berperan sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga, guru berperan sebagai pendidik di sekolah, sedangkan yang lainnya dapat memainkan peran sebagai pendidik di lingkungan sosial. Walaupun peranan para pendidik ini berbeda tempatnya, tidak berarti mereka bekerja sendiri-sendiri. Semuanya harus dapat memainkan perannya masing-masing secara bertanggung jawab dalam kerangka kerjasama yang harmonis dan saling mendukung agar peserta didik memiliki kepribadian yang utama.
B. Istilah dan Karakteristik Pendidik Menurut Al Qur'an. Dalam Al Qur'an disebutkan beberapa subyek pendidikan dengan nama yang beragam yang merujuk kepada kapasitas dan karakteristik masing-masing. Di antara mereka adalah sebagai berikut :
1. Ulul Ilmi. Dalam surat Ali Imran ayat 18 Allah SWT berfirman:
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Kata ألواالعلم (yang diartikan dengan orang-orang yang berilmu) pada ayat tersebut dijelaskan secara beragam oleh para mufasir. Dalam Tafsir Ibn Katsir dinyatakan bahwa ulul ilmi tiada lain adalah ulama yang menempati kedudukan yang agung. Dalam Tafsir Al Qurthuby dinyatakan hal yang senada, yakni ulul ilmi adalah ulama yang memiliki kedudukan terhormat dan keutamaan. Allah mengangkat kedudukan kelompok ulul ilmi sejajar dengan para malaikat dalam konteks menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa seorang pendidik harus memiliki kualifikasi dan spesialisasi ilmu agar menghasilkan peserta didik yang juga kaya dengan ilmu pengetahuan. Sebab, orang yang tidak memiliki ilmu tidak mungkin dapat memberikan ilmu kepada orang lain, sesuai dengan ungkapan: فاقدالشيءلايعطى (orang yang tidak mempunyai apa-apa tidak akan bisa memberikan apa-apa).
2. Ulama. Dalam Surat Fathir ayat 28 Allah SWT berfirman: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.”
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa ulama merupakan hamba Allah yang beriman, bertakwa, menguasai ilmu kauniyah dan tanziliyah, berpandangan hidup luas, dan beribadah dengan landasan takut (khasyyah) kepada Allah SWT. Takut merupakan sifat khusus ulama. Sejumlah mufasir menjelaskan pengertian kata khasyyah dalam kitab tafsir mereka masing-masing.
Sai’d bin Jubair mengatakan bahwa khasyyah adalah rasa takut kepada Allah yang menghalangi seseorang dari perbuatan dosa kepada-Nya.
Menurut Ali Husain Al Jurjani dalam Badrudin Hsubkiy (1995: 44), khasyyah ialah rasa takut pada tindakan yang dibenci Allah. Khasyyah muncul jika seseorang merasa ia melakukan banyak dosa atau mendapat pengaruh ma’rifat dari Allah. Orang yang bisa khasyyah kepada Allah secara hakiki hanyalah para nabi karena ma’rifatnya kepada Allah sangat mendalam. Pendapat para mufasir ini menunjukkan bahwa senada dengan surat ali Imran ayat 18 di atas, sebagai pendidik, ulama yang identik dengan kekayaan ilmiyah juga harus memiliki kecerdasan spiritual yang tercermin dalam rasa takut (khasyyah) kepada Allah dalam menegakkan aturan-Nya. Namun demikian, sulit menemukan kriteria ulama yang komprehensif. Di kalangan umat Islam kata “ulama” menimbulkan berbagai persepsi sehingga belum ada definisi yang baku. Dalam upaya merumuskan definisi “ulama”, Syekh Jalaludin As Suyuthi (tt: 187) menyarankan untuk merujuk kepada pendapat para mufasir salaf (sahabat dan tabi’in) yang dekat dengan pusat ilmu keislaman.
3. Ahludz Dzikri. Dalam surat An Nahl ayat 43 dan 44 Allah SWT berfirman: “(43)Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (44) Keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Dalam Tafsir Jalalain ditegaskan bahwa أهل الذكر adalah العلماءبالتوراةوالانجيل (para ulama yang memahami kitab Taurat dan Injil). Ibnu Katsir menjelaskan hal yang senada bahwa yang dimaksud dengan ahludz dzikr adalah ahli kitab sebelum Muhammad SAW.
Dalam Tafsir Departemen Agama (1984: 408), ahludz dzkri ditafsirkan dengan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan kitab-kitab. Orang-orang yang mempunyai pengetahuan tersebut adalah Rasulullah dan para ulama dari berbagai kurun waktu. Penafsiran ini relevan dengan tafsir adz dzikr pada ayat berikutnya, bahwa yang dimaksud adalah Al Qur'an itu sendiri. Ibnu Abbas, dalam Tafsir Qurthuby, mengungkapkan hal senada, yakni bahwa yang dimaksud ahludz dzkri adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau orang yang memahami Al Qur'an.
Pendapat para mufasir tersebut mengisyaratkan bahwa dalam konteks pendidikan Islam seorang pendidik harus memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang ilmu Al Qur'an yang menjadi sumber ajaran Islam. Hal ini bisa difahami selaras dengan isyarat yang terdapat pada ayat berikutnya (ayat 44). Menurut Tafsir Jalalain, pada ayat 44 kalimat "bil bayyinaati wazzubur" berta’alluq pada fi’il yang tidak disebutkan. Kalimat ini diartikan “kami mengutus mereka dengan membawa hujjah-hujjah yang jelas dan kitab-kitab suci.”
Selain itu, ayat 44 juga mengandung makna bahwa seorang pendidik berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam Al Qur'an yang di dalamnya dibedakan antara halal dan haram serta agar peserta didik dapat mengambil pelajaran daripadanya. Fungsi ini menjadi penting dimiliki oleh seorang pendidik karena pada dasarnya manusia terlahir ke dunia dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan apapun. Seorang pendidik dituntut untuk mampu mengembangkan potensi yang dianugerahkan Allah kepada peserta didik sebagaimana yang tersirat pada ayat 78 surat An Nahl berikut ini:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
4. Ahlur Rusydi Allah SWT berfirman dalam surat al Kahfi ayat 66:
“Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Keterangan-keterangan ini menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara guru dan murid harus berlangsung dalam suasana saling menghargai/menghormati. Sikap ini ditunjukkan oleh Nabi Musa A.S. ketika meminta izin ikut belajar kepada Nabi Khidir A.S., sementara Nabi Khidir A.S. mempersilahkan Nabi Musa A.S. untuk ikut belajar dengan-Nya. Sikap Nabi Musa A.S. ini merupakan cerminan kesopanan yang harus dilakukan oleh seorang pseserta didik kepada gurunya. Sedangkan sikap Nabi Khidir A.S. merupakan cerminan dari kesabaran dan sikap lapang dada dalam memberikan bimbingan/pengajaran.
Dengan demikian, seorang pendidik harus memiliki kompetensi akhlaq dan kepribadian yang luhur dalam proses pembelajaran. Di antaranya adalah dengan memiliki sikap sabar dalam menghadapi perilaku peserta didiknya. Jika sikap seperti ini dapat diterpkan dalam proses pembelajaran, maka akan tercipta suasana yang kondusif terhadap upaya memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik.
5. Syadidul Quwa dan Dzu Mirroh. Allah SWT berfirman dalam surat An Najm ayat 5-6:
“(5) Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, (6) Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli”
Mengenai dua ayat tersebut, dalam Tafsir Al Qurthuby dijelaskan bahwa seluruh mufasir mengatakan شديدالقوى adalah malaikat Jibril, kecuali Al Hasan, ia menyatakan bahwa شديدالقوى adalah Allah SWT. Adapun kalimat ذومرة berarti memiliki kekuatan dan kecerdasan/wawasan luas. Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibn Katsir. Dengan merujuk kepada pendapat jumhur mufasir, ayat ini berbicara tentang Malaikat Jibril yang menjadi guru besar Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari ikhtilaf mengenai figur yang disebut pada ayat 5, seluruh mufasir sepakat bahwa figur dimaksud bersifat memiliki kekuatan dalam segala dimensinya serta kecerdasan khusus. Dengan demikian, makna tarbawy dalam ayat ini adalah bahwa seorang pendidik seyogyanya merupakan sosok yang kuat, baik dari segi fisik, mental, ekonomi, maupun intelektual.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam Al Qur'an terdapat beberapa sebutan bagi subyek pendidikan, yaitu: ulul ilmi, ulama, ahludz dzikr, ahlur rusyd, syadidul quwa, dan dzu mirroh.
2. Masing-masing nama tersebut menunjukan kapasitas subyek pendidikan, yang secara umum merujuk kepada pribadi yang memiliki kompetensi lengkap, yakni pribadi yang taqwa kepada Allah SWT, memiliki pengetahuan dan wawasan luas, cerdas, memiliki fisik, mental, dan ekonomi yang kuat, serta sabar menghadapi perilaku peserta didik dan menghargai keberadaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qurthuby, 1997. Tafsir Al Qurthuby, Versi 6.50 (digital). Kairo: Sakhr
As Suyuthi, Jalaluddin, dan Al Mahalli, Jalaluddin,1997. Tafsir Al Jalalin, Versi 6.50 (digital). Kairo: Sakhr
Departemen Agama R.I., 1984. Al Qur’an: Tafsir dan Terjemahnya. Jakarta: DEPAG RI
Ibnu Katsir, 1997. Tafsir Ibnu Katsir, Versi 6.50 (digital). Kairo: Sakhr
Marimba, Ahmad D., 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Al Ma’arif

0 komentar: