Social Icons

Halaman

21 Januari 2013

TRADISI PENGAJARAN KITAB FIQIH SALAF DI PESANTREN


A. Pendahuluan.
Pengajaran kitab salaf – yang lazim disebut kitab kuning[1] -  bukanlah tradisi yang berasal dari Indonesia. Meskipun demikian, tradisi ini mampu bertahan sejak abad XVI. Selama kurang lebih lima abad tradisi ini telah menyatu dengan kehidupan masyarakat pesantren. Padahal selama kurun waktu itu di kalangan umat Islam telah muncul berbagai pemikiran yang sering merupakan kritik terhadap tradisi–tradisi pesantren, khususnya tradisi kitab salaf dalam sistem pendidikannya.
Tradisi kita salaf menunjukkan bahwa signifikansi kitab salaf sangat kuat bagi masyarakat pesantren dalam menjawab berbagai persoalan, khususnya menyangkut persoalan keagamaan. Di samping itu, kuatnya signifikansi kitab salaf di pesantren tentunya berhubunganan erat dengan kontribusinya bagi keberhasilan pengajaran fiqih di pesantren. Sebab, pada kenyataannya tidak semua kitab fiqih salaf digunakan di pesantren. Dengan kata lain, ada proses seleksi yang dilakukan masyarakat pesantren terhadap kitab-kitab fiqih salaf.

Untuk mengetahui kontribusi kitab-kitab salaf dalam pengajaran fiqih di pesantren, maka perlu memahami unsur-unsur yang terdapat dalam sistem pengajaran fiqih serta kecenderungan yang ada dalam pengajaran fiqih di pesantren. Bertitik tolak dari temuan-temuan mengenai hal tersebut dapat dilakukan prediksi tentang pengajaran fiqih di pesantren pada masa yang akan datang.
            Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa pertanyaan pokok yang akan dilacak dalam rangka menjelaskan tradisi pengajaran kitab fiqih salaf di pesantren pada abad XX, yaitu: bagaimana sistem pengajaran fiqih yang melibatkan kitab-kitab fiqih salaf? Metode apakah yang digunakan dalam proses pengajaran kitab fiqih salaf di pesantren? Sistem evaluasi apakah yang digunakan? Kitab-kitab apakah yang dijadikan teks pembelajaran fiqih di pesantren? Bagaimana kecenderungan yang mungkin terjadi dalam proses pengajaran fiqih di pondok pesantren?
  1. Pesantren: Lembaga Pendidikan Islam Tradisional.
1.       Pengertian Pesantren
Secara etimologis, pesantren berasal dari kata dasar santri yang diberi awalan pe- dan akhiran -an, yang berarti “tempat santri”. Santri adalah sebutan bagi peserta didik di pesantren. Bagi santri, pesantren merupakan tempat memperoleh pendidikan dan pengajaran dari para guru (ustadz) dibawah pimpinan kyai (Manfred Ziemek, 1986: 16; Zamakhsyari Dhofier, 1994: 18). Ada beberapa istilah lain bagi lembaga pendidikan sejenis dengan pesantren, misalnya: “penyantren” di Madura, “pondok” di Pasundan, “rangkang” atau “dayah” di Aceh, dan “surau” di Minangkabau. (Zuhairini dkk., 1986:53)
Dalam kehidupan sehari-hari dikenal pula istilah “pondok pesantren”[2]. Dalam bahasa Indonesia, pondok artinya madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam), sedangkan pesantren adalah asrama tempat para santri belajar mengaji. (Anonimous, 1988: 677,695)
Dalam segi terminologis, hakekat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tampaknya sulit dideskripsikan secara verbal dengan rumusan yang dapat berlaku untuk seluruh pesantren. Hal itu disebabkan karena tidak ada keseragaman sistem dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya (A. Timur Djaelani, 1982:53; M. Habib Chirzin, 1995:77). Namun demikian, ditinjau dari segi penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajarannya, dewasa ini pondok pesantren digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.      ...lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandongan dan sorogan)... sedang para santri biasanya tinggal dalam Pondok/Asrama dalam pesantren tersebut.
2.      ...lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di komplek pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong),...
3.      ...lembaga gabungan antara sistim pondok dan pesantren...serta menyelenggarakan juga pendidikan formil berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejujuran menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.

(A. Timur Djaelani, 1982: 53-54)

            Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa di antara pesantren dan pondok pesantren terdapat kesamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu keagamaan dengan metode bandongan atau sorogan[3]. Pada perkembangannya lembaga ini dilengkapi dengan lembaga pendidikan formal, sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
2.       Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pendidikan di suatu pesantren sangat ditentukan oleh figur kyai sebagai pemimpinnya. Oleh sebab itu, wajar sekali jika tujuan pendidikan pesantren bervariasi rumusannya, sehingga tidak ada tujuan yang ditentukan secara seragam dan pasti.
            Menurut Zamakhsyari Dhafier (1994: 50), tujuan utama pesantren adalah mendidik calon-calon ulama.             Rumusan tersebut mengandung konotasi bahwa setelah menjalani pendidikan di pesantren para santri diharapkan mau dan mampu menyebarluaskan ilmu yang telah dikuasainya kepada masyarakat. Para alumni pesantren dibina untuk dapat mengemban tanggung jawab sosial, yaitu mendidik masyarakat di sekitarnya. Namun, hal itu tampak tidak seluruhnya tepat. Pada kenyataannya tidak semua alumni pesantren berhasil menjadi ulama. Kebanyakan mereka menjadi anggota masyarakat biasa setelah keluar dari pesantren. Oleh sebab itu, menurut penulis, tujuan pendidikan pesantren yang cukup mewakili adalah sebagaimana yang dikatakan oleh H.M, Arifin sebagai berikut :
a.   Tujuan khusus : “mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat”.
b.   Tujuan umum : “membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya”.
      ( H.M. Arifin, t.t : 110-111 )
Tujuan pendidikan pesantren di atas dianggap representatif karena ada dua pengertian yang tercermin dalam rumusannya. Pertama, tujuan umum pendidikan pesantren mengandung arti bahwasanya pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang konsisten dalam mengemban tanggung jawab untuk membina kehidupan beragama masyarakat secara luas. Hal ini dimanifestasikan antara lain dalam bentuk pendelegasian tugas dari seorang kyai atau ustadz kepada santri senior untuk mengajar para santri yunior serta adanya program latihan khitobah (pidato), seperti yang berlaku di beberapa pesantren. Tentunya, kedua hal tersebut (pendelegasian tugas mengajar dan latihan pidato) merupakan kesempatan bagi para santri untuk berlatih menyampaikan ilmunya kepada orang lain, sehingga setelah keluar dari pesantren santri tersebut dapat melakukan amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat sekitarnya (Lihat Q.S. Ali Imran : 104 dan 110: Q.S Al Taubah : 122).
Kedua, dengan rumusan tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan pesantren dilandasi oleh tujuan yang ideal tanpa mengabaikan realita. Rumusan tujuan umum di atas merupakan kerangka acuan yang ideal bagi pendidikan pesantren. Padahal, pada kenyataannya hanya sedikit sekali alumni pesantren yang berhasil menjadi ulama. Kebanyakan santri keluar dari pesantren gagal menjadi ulama.         
Jika tujuan pendidikan pesantren adalah hanya membentuk ulama atau mubaligh saja, maka para santri yang tidak menjadi ulama merupakan drop out pesantrenan. Padahal, sebutan drop out bagi santri yang tidak menjadi ulama (setelah keluar dari pesantren) adalah tidak tepat. Sebab, seperti dikemukakan oleh A. Wahid (1995: 49), bahwa seseorang bisa dikatakan berhasil menjadi santri yang baik apabila di tengah masyarakat ia mampu memegang teguh tata nilai yang dipelajarinya di pesantren, meskipun ia tidak menjadi ulama
  1. Kitab Fiqih Salaf dalam Sistem Pendidikan Pesantren.
1.       Ciri-ciri Umum Kitab Salaf.
Kitab–kitab salaf yang beredar di Indonesia sangat beraneka ragam jenisnya. Ditinjau dari segi kedudukannya, menurut Masdar F. Mas’udi, definisi kitab salaf meliputi kitab-kitab dengan kategori sebagai berikut :
a    ditulis oleh ulama-ulama asing tapi secara turun temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia.
b.   ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen; dan
c.   ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
(Affandi Mochtar, 1995: 3)
            Di daerah asalnya, yakni Timur Tengah, kitab salaf di sebut al kutub al qadimah sebagai sandingan dari al kutub al ashriyah. Pada mulanya kitab-kitab ini biasa ditulis atau dicetak memakai huruf-huruf Arab dalam bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya[4]. Huruf-hurufnya tidak diberi tanda baca vokal (harakat/syakl), sehingga sering disebut Kitab Gundul.
            Penampilan kitab-kitab salaf pada fisiknya telah berubah. Karena itu, kitab-kitab salaf tidak mudah lagi dibedakan dengan karya-karya yang biasa disebut al kutub al ‘ashriyah. Kini perbedaannya bukan lagi terletak pada bentuk fisik kitab dan tulisannya melainkan terletak pada isi, sistematika, metodologi, bahasa, dan pengarangnya. (Ali Yafie, 1995: 52)
            Ditinjau dari segi isi, hampir semua kitab salaf terdiri dari dua komponen, yaitu komponen matn[5] dan lainnya adalah syarh (penjelasan matn)[6] (Masdar F. Mas’udi, 1985: 55), kecuali kitab-kitab jenis hasyiah[7]. Kitab-kitab jenis ini berisi matn, syarh, dan sekaligus hasyiah.
            Adapun sistematika penulisannya, pada umumnya kitab-kitab salaf tersusun dari kerangka yang besar kemudian berturut-turut sub-sub kerangka itu diturunkan sampai pada yang paling kecil. Sebagaimana dijelaskan Ali Yafie (1995: 59), penguraian isi kitab salaf dibagi menjadi empat kelompok permasalahan yang dikenal dengan istilah rub’. Keempat rub’ tersebut adalah: ibadah, mu’amalah, munakahah, dan jinayah. Masing-masing rub’ itu diuraikan dalam bab atau kitab, dan setiap bab (kitab) dirinci dalam pasal (fashl) dan anak pasal (far’) kemudian berakhir pada masalah-masalah.
            Namun, sebenarnya tidak ada keseragaman dalam sistematika kitab salaf. Untuk lebih jelasnya, dapat penulis kemukakan beberapa contoh sebagai berikut :
a.       Kitab Safinah, penguraiannya hanya dibagi dalam pasal-pasal saja;
b.      Kitab Kasyifah Al Syaja, kerangkanya disusun mulai dari pasal (fashl) kemudian dirinci menjadi sub-sub topik yang lebih kecil dengan menggunakan kode-kode tertentu, seperti: far’, tanbih, tatimmah, tafshili, dan masalah;
c.       Kitab Al Taqrib dan syarah-nya (Fath Al Qarib Al Mujib), penguraiannya dibagi menjadi kitab-kitab dan setiap kitab dirinci menjad beberapa pasal;
            Selain contoh-contoh di atas, ada pula kitab-kitab yang hanya berisi pembahasan mengenai satu topik saja. Di antara kitab-kitab tersebut adalah Sullam Al Munajat yang berisi tentang hukum shalat, serta Qurrat Al ‘Uyun yang membahas tentang nikah.
2.       Jenis-jenis Kitab Fiqih Salaf
Dalam konteks kesejarahan, khususnya sejarah fiqih Islam, lahirnya kitab-kitab fiqih salaf merupakan ciri penting dalam periode stagnasi fiqih. Sebab pada zaman itu semangat dan kreativitas keilmuan yang sempat mewarnai periode-periode sebelumnya yang ditandai munculnya para imam madzhab sebagai puncak keemasan fiqih sudah sangat lemah bahkan hampir padam. Para ulama pada masa itu benar-benar berada dalam keterpakuan tekstual yang bersumber dari sikap fanatik terhadap madzhabnya masing-masing (Mun’im A. Sirry, 1995: 134-142)
            Keterpakuan para ulama pada karya-karya pendahulunya terlihat pada keterbatasan jenis-jenis kitab salaf. Menurut Aziz Al Azmeh, kitab-kitab salaf, termasuk di dalamnya kitab-kitab fiqih, terbagi menjadi tujuh jenis[8], yaitu sebagai berikut :
perlengkapan atas teks yang belum lengkap, perbaikan teks yang mengandung kesalahan, penjelasan (penafsiran) atas teks yang samar, peringkasan (ikhtisar) dari teks yang lebih panjang, penggabungan teks-teks terpisah tetapi saling berkaitan (namun tanpa adanya upaya sintesis), penataan tulisan yang masih simpang-siur, dan pengambilan kesimpulan dari premis-premis yang sudah disetujui. (Martin Van Bruinessen, 1995: 31)
            Bila disimak, keterangan di atas seakan-akan mengandung konotasi bahwa pemikiran ulama dalam kitab salaf bersifat statis dan tidak inovatif.  Sebab, pemikiran dalam sebuah kitab salaf mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kitab salaf lainnya. Walaupun demikian, kitab salaf sesungguhnya mengandung pemikiran yang dinamis. Dinamika pemikiran yang ada dalam kitab salaf tidak dapat dinafikan hanya karena keterbatasan jenisnya. Sebab, adanya bentuk bertingkat dari matn ke syarh, lalu ke hasyiyah, dan seterusnya, menunjukkan adanya upaya koreksi terus menerus dan evaluasi berkelanjutan. Menurut Ali Yafie (1995: 58), hal ini menunjukkan adanya dinamika ilmiah dalam karya kitab salaf.
Selain itu, dinamika ilmiah dalam kitab salaf juga tampak pada upaya mempertahankan secara ketat apa yang disebut amanatun naqli, yakni kejujuran ilmiah dalam mencatat pendapat (interpretasi) sebagai pengakuan hak paten dari para fuqaha yang melahirkan suatu pendapat tertentu. Demikian pula keterbukaan untuk evaluasi dan naqd (kritik) yang pada umumnya dapat ditemui dalam kitab-kitab hasyiyah dan taqrirat. Dari bentuk-bentuk kritik dan evaluasi yang dapat diamati dari kitab-kitab hasyiyah dan taqrirat, semuanya bersifat ilmiah, dalam arti itu dilakukan secara metodik atas dasar ketentuan-ketentuan gramatikal nahwu, sharf, dan ilmu-ilmu bahasa lainya.
3.       Pengajaran Kitab Fiqih Salaf dalam Sistem Pendidikan Pesantren
Kitab-kitab salaf yang diajarkan di pesantren pada garis besarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ilmu-ilmu syari’ah dan kelompok ilmu-ilmu non syari’ah. Dari kelompok pertama yang sangat dikenal adala kitab-kitab fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits, dan tarikh. Sedangkan dari kelompok kedua yang sangat dikenal adala kitab-kitab nahwu dan sharaf, yang mutlak diperlukan untuk membantu memahami “kitab-kitab gundul”. Kemudian menyusul ilmu-ilmu bantu lainnya, seperti : balaghah, mantiq, ‘ardh/syi’ir, falak, dan hikmah. (Imron Arifin, 1993: 9)
            Yang patut dicatat di sini adalah bahwa bidang-bidang keilmuan tersebut tidak mendapat “perhatian” yang sama. Hal ini terungkap pada klasifikasi Martin terhadap 900 karya kitab salaf[9], yakni terdiri dari : fiqih 20 %, aqidah 17 %, bahasa Arab 12 %, hadits 8 %, tasawuf 7 %, akhlak 6 %, kumpulan doa, wirid, dan mujarobat 5 %, dan kisah para nabi, maulid, manaqib, dan sejenisnya 6 %. (Martin Van Bruinessen, 1995: 134-135)
            Besarnya apresiasi kalangan pesantren terhadap karya-karya fiqih, terutama pada abad XX, merupakan konsekuensi logis dari keberadaan fiqih sebagai ilmu yang memiliki keterkaitan yang nyata dengan perilaku keseharian setiap individu maupun masyarakat (Ali Yafie, 1995: 60). Di samping itu, penekanan pada fiqih dalam tradisi keilmuan pesantren merupakan akibat dari sebuah proses pembaharuan, baik yang dilakukan secara berkelompok maupun individual. Beberapa organisasi masyarakat yang terlibat dalam proses ini antara lain adalah Muhammadiyah, Al Irsyad, dan Persis. Gerakan keagamaan seperti gerakan paderi dan tarekat Naqsabandiyah, yang berorientasi kepada syari’at, juga terlibat secara ketat dalam pembaharuan pemikiran Islam di Nusantara. Sedangkan mereka yang secara individual berjasa memperkuat kedudukan fiqih dengan karangan-karangannya di Indonesia antara lain alah Daud Ibn Abdullah Al Fathani, Nawawi Al Bantani, Nuruddin Al Raniry, dan Abdul Rauf Al Sinkili. Menurut Martin Van Bruinessen, (1995: 112), upaya-upaya mereka itulah yang menyebabkan dominasi fiqih atas cabang-cabang ilmu agama Islam lainnya[10].
            Di kalangan masyarakat pesantren terdapat sejumlah kitab fiqih yang paling populer. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah: Al Ghayah wa Al Taqrib, Fath Al Qarib Al Mujib, Fath Al Mu’in, Fath Al Wahab; I’anah Al Thalibin, Kifayat Al Akhyar, Al Iqna’,  Safinah Al Naja,  dan Kasyifah Al Syaja. Kitab-kitab fiqih salaf tersebut biasanya diajarkan dengan menggunakan metode-metode sorogan dan bandongan/weton. Metode sorogan merupakan metode yang bersifat individual. Adapun metode bandongan merupakan metode yang bersifat kolektif/massal. Metode sorogan merupakan bagian paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan tradisional Islam karena metode ini menuntut kesabaran, keinginan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari santri. Walaupun demikian, metode ini sangat efektif bagi santri pemula. Sebab, penerapan metode ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai bahasa Arab (disamping materi kitab itu sendiri) (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 28– 29). Selain dua metode tersebut (sorogan dan weton), pesantren juga kerap menggunakan metode mudzakarah/musyawarah. Model ini bersifat dialogis sehingga umumnya hanya diikuti oleh santri senior (Wahjoetomo, 1997: 83)
            Selain kekhasan metodenya, pengajaran kitab fiqih salaf memiliki ciri khusus, yakni seorang santri harus bisa menamatkan kitab dasar jika ingin mempelajari kitab yang lebih tinggi. Misalnya, jika seorang santri ingin mempelajari kitab Fath Al Qarib (syarh Taqrib), maka ia harus menamatkan kitab Taqrib terlebih dahulu[11].
Sistem pengajaran kitab fiqih salaf seperti yang telah diuraikan di atas pada umumnya tidak mengenal sistem kenaikan kelas. Lama belajar santri tidak tergantung pada lamanya tahun belajar, tetapi berpedoman pada tingkat kemampuannya dalam menguasai kitab-kitab teks yang telah ditetapkan. Dari hal tersebut timbul kesan bahwasanya orientasi pengajaran di pesantren bukanlah hanya terhadap penguasaan materi pelajaran, tetapi juga penguasaan kitab-kitab itu sendiri.
  1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
  1. Sistem pengajaran fiqih di pesantren, khususnya di pesantren salafy,  pada umunya diselenggarakan secara non klasikal, yakni dengan menerapkan metode sorogan dan bandongan. Selain kedua metode tersebut, di pesantren juga kerap digunakan metode mudzakarah/seminar. Untuk mengetahui tingkat penguasaan santri, dilaksanakan pola evaluasi yang tidak berdasarkan peringkat angka-angka, melainkan berdasarkan kemampuannya dalam membaca dan memahami kitab yang dipelajarinya.
  2. Di mayoritas pesantren, kitab-kitab fiqih yang diajarkan adalah karya-karya fiqih Syafi’iyah yang ditulis pada periode abad pertengahan (X - XV M). Kitab-kitab ini terdiri dari berbagai jenis dan tingkatan dan digunakan sesuai dengan tingkat penguasaan santri terhadap kitab salaf.
  3. Terdapat indikasi kuat bahwa pengajaran kitab-kitab fiqih salaf akan senantiasa dipertahankan meskipun ada pembaharuan sistem pendidikan pesantren. Unsur-unsur yang mengalami perubahan adalah pada segi manajemen, pola pendidikan, dan metode pengajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Bruinessen, Martin Van, 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Mizan, Bandung
Dhofier, Zamakhsyari, 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. LP3ES, Jakarta
Mahfudh, Sahal, K.H., 1994. "Kitab Kuning di Pesantren" dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, LKiS, Yogyakarta
Mas'udi, Masdar F., 1985. "Mengenal Pemikiran Kitab Kuning" dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah. P3M, jakarta
Mochtar, Affandi, 1995. Literatur Dars dalam Tradisi Pendidikan Islam Klasik. Jurnal Ilmiah LEKTUR Pendidikan Islam. LKPPI, Fak Tarbiyah IAIN Cirebon.
Sirry, Mun’im A., 1995. Sejarah Fiqih Islam. Risalah Gusti, Surabaya
Wahjoetomo, 1997. Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.
Yafie, Ali, K.H., 1995. "Ontologi Kitab Kuning" dalam bukunya Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, Hingga Ukhuwah. Mizan, Bandung
Ziemek, Manfred, 1986. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. P3M Jakarta




[1] Di dunia pesantren penyebutan kitab salaf lebih populer dengan sebutan kitab kuning. Adapun asal-usul istilah ini belum dapat diketahui secara pasti. Kemungkinan besar sebutan itu berasal dari pihak luar pesantren dengan konotasi yang sedikit mengejek. Kecenderungan makna negatif dalam istilah kitab kuning itu sejalan dengan pandangan negatif terhadap Islam, yang meluas di dunia barat, yang menganggap Islam sebagai simbol keterbelakangan dan kejumudan. (Lihat Imron Arifin, 1993: 8; Masdar F. Mas’udi, 1985: 55; Ali Yafie, 1995:51)
[2]   Istilah “pondok” diduga berasal dari bahasa Arab funduq, artinya hotel atau asrama. Tetapi pada kenyataannya pondok di pesantren lebih mirip dengan bangunan perumahan sederhana yang dipetak berbentuk kamar-kamar sebagai asrama bagi para santri. (Lihat Zamakhsyari Dhofier, 1994:18 dan A. Timur Djaelani, 1982: 51). Di beberapa daerah di Jawa Barat, kamar-kamar ini dikenal dengan istilah ”kobong”.
[3] Metode bandongan adalah metode pengajaran yang melibatkan sekelompok murid yang mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan seringkali mengulas kitab salaf dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Sedangkan metode sorogan adalah metode pengajaran dengan proses santri men-sorog-kan  (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca di hadapan kyai itu. Jika ada kesalahan, maka kesalahan itu langsung dikoreksi oleh kyai. (Lihat Anton Timur Djaelani, 1982: 55 dan Zamakhsyari Dhofier, 1994: 28 – 29)
[4] Tetapi, huruf Arab tampaknya tidak lagi dapat dijadikan kriteria yang permanen. Dari studi Martin Van Bruinessen terhadap literatur pendidikan agama Islam di Nusantara ditemukan kitab-kitab salaf yang ditulis bukan dengan huruf Arab (Lihat Martin Van Brinessen, 1995: 133)
[5] Matn adalah isi kitab salaf yang memuat pokok-pokok/inti pembahasan yang biasanya disajikan dengan singkat/sederhana dan ditulis di luar garis segi empat yang mengelilingi syarah.
[6] Syarh merupakan penjelasan dari matn yang biasa ditulis lengkap dengan isi matn yang dijelaskannya. Dalam syarh, setiap bagian dari matn yang dijelaskan dibatasi dengan tanda kurung.
[7] Hasyiah adalah kitab yang  berisi penjelasan atau komentar dari syarh
[8] Untuk ketujuh jenis tersebut Martin Van Bruinessen menambahkan jenis kedelapan, yaitu terjemahan ke dalam bahasa yang lain (Lihat Martin Van Bruinessen (1995: 31).
[9] Meskipun data prosentase itu belum tentu berlaku untuk seluruh karya yang termasuk kitab salaf, mengingat jumlah kitab salaf belum dapat dipastikan, namun hasil studi Martin itu cukup memadai sebagai gambaran bahwa tradisi keilmuan Islam pada beberapa dekade terahir lebih banyak didominasi dengan karya-karya fiqih. Kenyataan tersebut berbeda dengan yang terjadi pada periode-periode awal perkembangan tradisi keilmuan Islam di Nusntara, khususnya pada abad ke-16 M. Pada periode ini terlihat bahwa pengajaran kitab-kitab salaf lebih ditekankan pada bidang akidah dan tasawuf. (Lihat Martin Van Bruinessen, 1995: 27-18)
[10]    Tetapi hal itu tidak berarti cabang-cabang ilmu agama Islam lainnya diabaikan. Disiplin-disiplin ilmu tasawuf, akidah, bahasa Arab, tafsir, hadits, dan lain-lainnya tetap diajarkan walaupun dengan porsi yang berbeda-beda di masing-masing pesantren.
[11]    Metode belajar seperti ini tampaknya efektif dalam rangka memberikan pemahaman dasar untuk memahami kitab yang lebih tinggi. Tetapi, dari segi keperluan praktis,  metode tersebut kurang efisien karena diperlukan waktu belajar yang lama.

0 komentar: